Kode Direktori |
Assalamualaikum.
Hay teman-teman Kali ini saya ingin berbagi artikel dengan teman-teman. Gak sengaja saya dapat page yang isi dapat mencambuk para alumnus IT. dan saya artikel ini saya dapat saat saya sedang jalan-jalan di dunia maya. Ya kalau menurut saya, artikel yang saya dapat ini bagus banget, mengenai Mengapa Banyak Lulusan IT Yang Mengecewakan? Statistik menurut hasil riset saya juga seperti itu. Entah kenapa bisa seperti itu.
Baik, saya gak akan panjang lebar membuat intro nya, teman-teman bisa langsung baca saja Artikel yang telah saya dapat ini :
“Banyak pelamar tidak seperti yang kita harapkan. Kita sering kecewa.
IPK (indeks prestasi)-nya tinggi, bagus secara kualifikasi. Tapi saat
ditanya hal yang dasar, yang menurut kami mereka mengusainya, mereka
tidak bisa. Dan banyak yang seperti ini” – Ahmad Bagus Santoso, Human
Resource Departement PT Indocyber Global Teknologi kepada detikINET di
sela acara JobsDB Career Expo 2010 di Sasana Budaya Ganesha, Tamansari,
Bandung, Sabtu
(16/1/2010)*
Tepat di hari berita tersebut dirilis, saya mendengarkan perkataan
teman sekelas di kampus, yang berkaitan dengan berita di atas.
Berawal dari seorang dosen yang kelasnya membosankan. Menurut
mahasiswa, Ibu dosen ini kurang aktif dalam proses belajar mengajar.
Sepanjang jam perkuliahan selalu duduk di kursi, materi yang dijelaskan
dalam bentuk dokumen (.doc) bukan presentasi (.ppt), tidak memanfaatkan white board, dan menjelaskan materi hanya dengan membaca dokumen tadi. “Mahasiswa juga bisa kalau cuma baca, tinggal dikasih materinya”.
Ibu dosen ini memang mengadakan sesi tanya jawab di setiap sesi
kuliahnya, tapi respon mahasiswa selalu nihil. Pengalaman sendiri,
melihat Ibu dosen yang malas bergerak (selalu nempel di kursi), saya
juga malas mengikuti kuliahnya. Membosankan.
Mungkin karena penasaran dengan profile Ibu Dosen tadi, ada teman sekelas yang ‘menguntit’ rekam jejak profesi kedosenannya. Pada website kampus, tertera bahwa si Ibu juga membawakan mata kuliah lain. Penguntitan berlanjut. Tertera pada syllabus, materi kuliah Ibu Dosen hanya menyangkut jenis dan manfaat tools
yang digunakan terkait mata kuliah yang dibawakan. Tidak ada materi
bagaimana menciptakan objek A atau B, padahal seharusnya mata kuliah
tersebut menghasilkan skill dalam bidang TI. “Kok bisa jadi dosen,
sih?”.
Awal dari perbincangan teman tadi adalah kejadian pada kelas
sebelumnya, kelas Pemograman Berbasis Objek. Materi yang disampaikan
adalah Swing, tampilan GUI di Java. Pak Dosennya memberikan latihan
praktikum membuat program Menghitung Gaji Dosen, dimana terdapat dua radio button untuk memilih status dosen, dosen tetap atau dosen honor. Berhubung editor-nya menggunakan JCreator, maka pendefinisian (termasuk pengaturan layout tampilan) komponen dilakukan dengan kode program, tidak bisa drag and drop. Kemudian ada teman yang bertanya bagaimana pengaturan layout radio button tersebut, agar tampilannya sejajar dengan textbox nama dan jumlah sks yang berada di atas dan bawah kedua radio button
tersebut. Singkatnya, Pak Dosen tidak bisa memberikan jawaban. Tapi,
Pak Dosen meminta mahasiswa mengumpulkan latihan praktikum tersebut dan
berpengaruh pada komponen nilai tugas. “Ya, Dosen kacau”.
Saya miris sendiri mengalami kondisi seperti ini. Ibu dosen tampak
tidak berbakat/berminat. Pak Dosen menuntut suatu keahlian yang Pak
Dosen benar-benar tidak bisa. Sekali pun Pak Dosen tidak bisa,
seharusnya beliau punya jawaban bagaimana mahasiswa bisa menemukan
jawaban, bukan diam dan cuma berkata ‘gimana ya?!’. Masalahnya dimana?
Mengenai Ibu Dosen yang tampak kurang berminat, itu soft skill yang harusnya si Ibu kuasai. Kalau Pak Dosen, saya kira lebih jelas: Pak Dosen tidak punya skill yang cukup untuk bidang yang dibawahinya. Masalah sepele, cuma pengaturan layout. Lewat memanfaatkan google pasti ketemu solusinya. Tapi, koneksi internet di lab. komputer tersebut pun secara default tidak terhubung. Koneksi internetnya terhubung jika hanya ada request dari dosen.
Sekarang cukup jelas mengapa banyak lulusan TI yang mengecewakan.
Menurut saya, kemampuan dosen dan fasilitas harus menjadi perhatian
utama. Kurikulum akan menjadi perhatian selanjutnya, menyesuaikan dengan
kebutuhan dunia kerja baik lokal maupun global. Sekarang yang saya
bingungkan, apakah Departemen Pendidikan kita menyadari hal seperti ini?
Mudah-mudahan saja.
Sepertinya tidak hanya itu saja penyebab banyaknya lulusan TI yang mengecewakan, ada yang lain?